Mumpung masih anget. Nulis tentang R.A Kartini pas hari Kartini.
Sebenarnya tulisan ini "utang " yang udah lama banget baru bisa gue bayar hari ini. Hehe.
Tiap tahun, setiap tanggal 21 April, bangsa ini merayakan hari Kartini sebagai pahlawan nasional.
Dan tiap tahun juga terjadi perdebatan "kelayakan" apakah R.A Kartini layak diangkat sebagai seorang pahlawan, kenapa ga pahlawan-pahlawan perempuan lainnya yang dianggap "lebih keliatan" perjuangannya.
Mereka, perempuan-perempuan hebat yang punya dedikasi "fisik" dengan beneran angkat senjata atau keliatan hasilnya yang berguna dalam perjuangan kemerdekaan hingga akhirnya negeri ini mengukuhkan dirinya menjadi NKRI.
Back to Kartini.
Duluuu, sebelum gue baca kumpulan surat-surat Kartini, gue juga mikir sama. Kenapa Kartini? Kenapa harus banget punya hari khusus? Emang cewe 20 tahunan ini ngapain? Nulis surat doang. Apa gunanya juga.
Sampaaaai, akhirnya gue dengan umur yang telat banget, 8 tahun yang lalu dibukakan kedegilannya dengan membaca salah satu kumpulan surat Kartini pada Stella Zeehandelaar (1899 – 1903) yang dialih bahasakan oleh Vissia Ita Yulianto, terbitan IRB Press, 2004 (Indonesia) – Monash Asia Institute, Monas University (Internasional). Buku dengan judul "Aku Mau, Feminisme dan Nasionalisme"
Setelah membaca kumpulan surat ini, gue cuma ngerasain satu. Minder. Kagum. Canggih banget perempuan ini.
Terlepas dari layak dan tidaknya gelar pahlawan nasional yang diribetin orang banyak, tulisan Kartini inspiratif dan tidak lekang jaman. Jangan main-main dengan kekuatan tulisan.
Setelah berkesempatan membaca kumpulan suratnya Kartini, gue meradang tiap tahun, tiap mendengar orang-orang maju ini yang melek informasi (katanya) yang memilih memperdebatkan gelar yang sebenarnya ga penting-penting amat TANPA pernah membaca apa yang ada di benak Kartini. Esensi tulisan Kartini jadi mandul di kepala mereka yang dengan entengnya "menghina" lompatan waktu buah pikiran Kartini.
Well. Tulisan ini bukan membela Kartini, karena beliau, gue yakin sesuai dengan pendapatnya yang ditulis di salah satu suratnya tidak mengagungkan pujian. "Mungkin mereka menganggap aku berpura-pura tapi, sungguh, aku tidak suka dipuji".
Adoh. Di kepala gue banyak banget sliweran ide Kartini yang inspiratif menurut gue. Gue ga punya idola sampai gue baca tulisan Kartini. Haha. Iya segitu lebaynya gue kagumnya sama perempuan ini.
For the record, yang akan gue bahas hanya dari buku yang gue baca, karena gue belum baca kumpulan surat-surat lainnya.
Sejarah hidup R.A Kartini pasti udah pada tau semua. Lahir di Mayong, Jawa Timur, 21 April 1879, putri kedua dan anak ke-4 dari 11 bersaudara R.M.A.A Sosroningrat seorang Bupati Jepara dari salah satu selir beliau. Kartini memiliki 5 saudara laki-laki dan 5 saudari perempuan.
Kecerdasan dan besarnya kecintaan Kartini pada dunia pendidikan tidak terlepas dari jasa kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak yang juga Bupati pertama di Jawa Tengah yang memberikan pendidikan barat kepada anak-anaknya yang menurun pada ayah Kartini.
Paman-paman dan kakak-kakak laki-laki Kartini semuanya lulusan HBS (Hogere Burger School – kalau sekarang setingkat SMU), bahkan ada tiga saudara laki-laki Kartini yang sekolah/ kuliah di Belanda. Walaupun kisah Kartini berakhir tragis, dengan kematian beliau, empat hari setelah melahirkan putera pertamanya. 17 September 1904 di usia 25 tahun. Too soon, too young.
Kartini itu hobbynya membaca dan menulis juga bisa melukis walaupun tidak sebaik dua adik perempuannya, dari penuturan Kardinah (adik Kartini) dalam buku kenangan Kartini (1958), beliau menuliskan bahwa Kartini terkenal pandai memasak, bahkan sudah menulis buku ala Jawa dan Belanda.
(menghela nafas. Bakal jadi tulisan yang puanjang ini kalo ga segera mengurai simpul kekaguman gue pada Kartini. Hihi)
Mari kita kembali ke jamannya Kartini. Ga ada internet, ga ada media sosial, informasi terbatas, pendidikan untuk anak perempuan bumiputra sangat ekslusif, hanya orang-orang tertentu yang cukup punya strata sosial untuk menyekolahkan anak perempuannya, itupun juga kalau orangtuanya cukup peduli untuk memberi kesempatan kepada anak-anak perempuannya.
Kartini dan adik-adiknya sebagai putri Bupati cukup beruntung, karena ayah mereka peduli untuk memberi kesempatan belajar pada anak-anak perempuannya walaupuuuun hanya sampai berumur 12 tahun. Setelah itu, sesuai adat jawa – bangsawan, anak perempuan dipingit, menunggu cukup umur untuk dilamar.
Dalam kumpulan surat ini, bolehlah gue simpulkan dalam satu kata; Menggugat. Kartini menggugat.
Kartini sangat cakap dan berani untuk mengungkapkan kegelisahannya pada aturan aturan feodal Jawa yang mengikat perempuan. Menggugat apartheid bahasa pada kaum bumiputra. Kegelisahan pada isu yang sangat sensitif, agama. Kerinduan pada kesetaraan gender. Ketidakberdayaan pada nasib.
Melalui pena, melintasi benua dan samudera, Kartini membagi hatinya. Tulisan-tulisan Kartini personal, sensitif terkadang defensif juga kaya pada keindahan sastra.
Ingat, Kartini hanya sekolah formal sampai dengan umur 12 tahun, sejak itu dia mengedukasi dirinya sendiri dengan bantuan kemudahan yang dimiliki ayahnya. Majalah, jurnal, novel dalam bahasa Belanda dilahapnya. Kaya anak-anak muda jaman sekarang, yang hobby ngeblog, Kartini menulis, menjalin korespondesi dengan orang-orang asing yang dia anggap mampu mengerti apa yang di kepalanya.
Kartini dengan telaten menjelaskan isu-isu yang mengganggu kepalanya, rindunya pada "kebebasan" dan kesetaraan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri. Dia menginginkan pendidikan untuk kaumnya. Dia percaya perempuan yang berpendidikan dapat membantu dirinya sendiri juga kemajuan pemerintahannya.
Cerdas. Serius, Kartini itu cerdas banget. Mana ada orang yang ga cerdas yang tekun membuat ringkasan/catatan atas jurnal yang dia baca?. Kefasihannya membaca surat kabar/majalah pergerakan perempuan dalam bahasa Belanda ataupun melayu. Cita-citanya untuk belajar literatur, karena Kartini ingin menunjukan bahwa sejago-jagonya ahli Indologi (ilmu tentang Hindia- Belanda) ga akan sejago kalau yang menuliskan orang jawa sendiri.
Kartini juga sudah berkesempatan menorehkan tulisannya di beberapa harian penting yang berbahasa Belanda. Walaupun dengan kegalauan, karena status sosialnya, ia beresiko dicap sebagai nyeleneh, Kartini tidak ingin jadi figur publik karena rasa hormatnya pada orangtuanya. Jauh sebelum lo pada pake nick name/pseudoname, Kartini sudah duluan memakainya, nama yang dia pilih "tiga saudara", merujuk pada ikatan persaudaraan dengan 2 saudara perempuannya.
Kalau lo belum tau, Kartini belajar bahasa lain selain bahasa Belanda, di suratnya, Kartini bercerita saat itu dia sedang belajar bahasa Perancis dan sedang menerjemahkan buku cerita sederhana dalam bahasa Perancis sebagai latihan. Ayahnya juga menghadiahi kursus bahasa Jerman setelah menguasai bahasa Perancis tapi beliau lebih memilih bahasa Inggris.
Anak perempuan pingitan yang jengah pada feodalisme. Pada satu suratnya Kartini mencela pernikahan yang diatur, poligami, yang ironisnya nantinya harus ia hadapi. Sebagai anak manusia, Kartini menginginkan pernikahan atas nama cinta, mengenal antar pribadi, jatuh cinta dan menikah.
Tentang poligami, di suratnya pada tanggal 6 Nov 1899, Kartini menuturkan, dia tidak akan pernah bisa mencintai. Karena untuk mencintai, pertama kali harus bisa menghargai pasangannya. Kartini mempertanyakan bagaimana mungkin menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah tapi sudah menjadi seorang ayah hanya karena sudah bosan dengan istri lamanya, bisa membawa perempuan lain ke rumah dan menikahinya.
"Meski banyak orang mengatakan ini bukan dosa, tapi aku, selama-lamanya akan tetap menganggap ini sebuah dosa. Bagiku, semua benih perbuatan yang menyakitkan orang lain (termasuk menyakiti hewan) adalah dosa. Bisa kau bayangkan derita seorang istri yang melihat suaminya pulang membawa perempuan lain yang kemudian harus diakuinya sebagai istri sah suaminya? Sebagai saingannya?"
Protes pada stigma lemah yang diberikan pada perempuan juga ia suarakan, seperti yang bergema di kepala gue, Kartini sudah lebih dulu berjanji, jika suatu saat nanti ia memiliki keturunan, Kartini akan memberikan pendidikan dan perlakukan yang sama. Kartini berujar;
"...dan sudah semenjak masa kanak-kanaknya, laki-laki sudah diajari untuk merendahkan perempuan. Sering sekali akku mendengar ibu-ibu yang mengatakan pada anak laki-lakinya, jika mereka menangis saat jatuh : "waduh, anak laki-laki kok menangis seperti anak perempuan saja!". Aku akan mengajari anak-anakku, baik laki-laki maupun perempuan, untuk saling menghomati sebagai sesama dan membesarkan mereka dengan perlakuan yang sama, sesuai dengan bakat mereka masing-masing."
Kartini juga peka pada isu sosial yang saat itu menghantui masyarakatnya, maraknya ketergantungan pada miras (dia menyindir orang-orang yang beragama tapi hanya melekat saja, tanpa menjalankannya), bebasnya perdagangan opium yang membuat sengsara rakyat yang ironisnya diatur oleh pemerintah.
"..Bisnis opium adalah bisnis yang paling menjanjikan untuk pemerintah Hindia Belanda. Mereka untung tapi rakyat buntung, beribu-ribu bahkan berjuta-juta keping emas bisa mereka dapatkan namun rakyatlah yang menanggung penderitaan akibat opium. Apakah rakyat menjadi lebih baik atau tidak, mereka peduli apa? – yang paling penting Pemerinta untung!" – 25 Mei 1899
Pada keterbatasan gerak perempuan, Kartini dengan indah melukiskan mirisnya berada dalam pekarangan yang sangat luas dan indah, tapi tetap saja terkukung oleh tembok-tembok keputren yang kokoh dan dingin. Yang menghalanginya berhubungan dengan dunia luar.
Sikap anak dara ini pada aturan-aturan yang menurutnya konyol seperti tradisi penghormatan pada mereka yang berstatus bangsawan. Kartini menolak untuk dihormati secara berlebihan oleh adik-adiknya. Dia dijuluki kuda kore/kuda liar karena sering tertawa keras dengan memperlihatkan gigi. Haha. Hipster yak?
Apartheid bahasa. Bahasa Belanda di jaman kolonialisme hanya boleh dipergunakan oleh orang-orang Belanda, orang-orang Bumiputra dilarang menggunakannya, bahkan walaupun orang-orang Bumiputra ini lebih cakap daripada orang-orang Belanda sendiri. Kartini mengolok-olok hal ini, dengan sarkasme, Kartini menceritakan kesombongan orang Belanda pada penggunaan bahasa ini, diceritakan seorang laki-laki Belanda menggunakan bahasa melayu yang berantakan pada seorang Raden Ayu yang fasih berbahasa Belanda, sang putri menjawab dalam bahasa Belanda "Tuan, maafkan saya, saya minta Anda berbicara dalam bahasa Anda sendiri. Saya bisa mengerti dan bisa berbahasa Melayu, tapi sayangnya hanya bahasa Melayu tinggi, saya tidak bisa bahasa Melayu pasaran". Haha. Si Londo pun malu sendiri.
Kakak laki-laki Kartini, RM Pandji Sosro Kartono, juga ga kalah hebatnya, beliau pada Oktober 1899, sebagai seorang mahasiswa beasiswa Sastra Belanda, pada Kongres Bahasa Belanda dan Sastra XXV, mengajukan dalam presentasi papernya, pentingnya kesetaraan dalam penggunaan bahasa Belanda untuk anak-anak laki bumiputra sebagai sarana memajukan pengetahuan dan kemajuan pemerintahan. Karena di jaman itu, hanya orang-orang Belanda yang bisa menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Ditambah ketidakmampuan juga tidak adanya kesempatan berbahasa Belanda makin merendahkan posisi tawar bagi anak-anak Bumiputra.
Kartono juga menyindir, dalam 2,5 abad belenggu pemerintahan kolonial Belanda, kebaikan apa yang sudah didapat kaum Bumiputra. Cool. Pidato itu tamparan yang cukup kenceng bagi kaum intelektual Belanda di Kongres itu.
Kartini sering sekali menuliskan tentang ketidak adilan yang dialami kaum Bumiputra pada kedudukannya di tatanan masyarakat waktu itu. Orang-orang Bumiputra yang harus laku jengeng/jalan jongkok pada orang Belanda yang lebih tinggi kedudukannya, hanya karena orang Belanda ingin dihormati seperti layaknya bangsawan Jawa.
Bapaknya Kartini digambarkan sebagai pribadi hangat yang peduli pada rakyatnya, macam Jokowi gitu, hihi. Bupati ini menekan korupsi dan suap di tataran pemerintahannya dengan kunjungan dinas dengan biaya kabupaten. Bekal dibawa sendiri, tidak merepotkan pegawai daerah dengan jamuan-jamuan yang menelan biaya besar, yang pada akhirnya mendorong pegawai untuk menerima suap dari rakyatnya.
Masih banyak banget yang bisa gue ceritain tentang Kartini, ada ga sih media menggambleh lisan aja hihi.
Kartini saking getolnya pengen belajar, dengan semua keterbatasan yang ada, bisa mendapatkan beasiswa pelatihan guru, yang sayangnya karena gender dan status sosialnya membuatnya melepas kesempatan itu. Sekolah perempuan berhasil diwujudkannya.
Moto hidupnya "aku mau", menjaganya untuk tidak pernah berhenti belajar. Sampai akhir hidupnya.
"Jika hukum yang berlaku mengizinkan , aku tak ingin apapun kecuali mengabdikan diriku secara utuh untuk melakukann hal-hal seperti yang telah dilakukan kaum perempuan di Eropa. Namun tradisi disini sungguh teramat kita mencengkeramku. Aku yakin ,saat itu akan tiba, tapi tidak tiga atau empat generasi setelahku!" ...
Jaman yang Kartini rindukan sudah tiba,kebebasan untuk berfikir, berkarya untuk kita, perempuan Indonesia. Apakah kita akan membiarkan mimpi-mimpi Kartini gugur di tangan kita yang kurang bisa menghargai anugerah yang begitu Kartini dambakan? Bahkan dia ingin tidur panjang 100 tahun dan terbangun saat semua sudah berubah. Ironis jika masih ada perempuan yang justru ingin kembali pada kembali di 'jaman kegelapan", menerima bahwa perempuan selama-lamanya hanya istri yang manut pada suaminya tanpa punya hak untuk didengarkan, pasrah dipasung kesempatan untuk berprestasi hanya karena jendernya.
Kartini buat gue layak banget jadi pahlawan, karena gugatannya 'pun masih sangat relevan pada kehidupan perempuan di jaman ini. Bahwa perempuan itu penting. Perempuan bukanlah hanya konco wingking, teman di belakang, perempuan harusnya bebas bergerak menentukan langkahnya sendiri, ikut bergerak dalam laju jaman, berkonstribusi pada kemajuan pemerintahan, memberikan sumbangsihnya pada keluarga dan sesamanya.
Orang yang menyalakan pelita di hati orang-orang untuk terus maju dan bergerak ke depan itu adalah seorang pahlawan.
"Kartini ada bukan karena gagasan feminisme, tapi karena Kartini ada,maka ia seorang feminis (GM, pada catatan pengantar buku ini)"