Halaman

Sabtu, 22 September 2012

Words

Ini cuma sekedar kekaguman gue (lagi-lagi) pada otak yang menerjemahkan dan memberi makna pada beberapa kata yang kemudian menghasilkan reaksi metafisika, halah, engga deng, menghasilkan reaksi gegap gempita di dada. Jieh.
Sebut saja namanya, Cinta.

Inget-inget deh, apa sih kata-kata yang ga ada hubungannya dengan 'centah' yang pernah "mantan, pacar, gebetan, ex gebetan" ucapkan ke elo.

Ini contoh ya, contoh lho ini, mithya had me at 'lushka, I was just kidding' .
It strikes me.

Coba mana dari kata-kata itu yang istimewa? Ga ada kan.
Tapi waktu itu, mithya bilang begitu bikin gue meleleh.

Atau waktu gebetan manggil 'jeung' , yang mana sebenarnya biasa aja gitu ganti kalo diucapin oleh yang lain.

Atau bahkan kalau si pacar bilang, 'kamu heh ku' . Apa coba heh ?

Kenapa jadi signifikan?

Bagaimana proses kerja kepala, ngasih tau perasaan, kalau 'kata-kata magis' itu, bisa bikin peternakan kupu-kupu di perut riuh atau melorotin jantung dan dentam jantung bertalu?

Mana lebih dulu?
Si kata-kata? Atau asumsi kita pada penuturnya?

*ps: kalau dulu, gue melted pada penggunaan intonasi pengucapan nama gue. Somehow it made me think that I am special. =)

Elle & Ket, pengambilan sample kalimat hanya karena agar lebih memudahkan penulisan. Terimakasih. Hehe.
Sent from BlackBerry® device ; please kindly excuse typos, brevity, abbreviations or anacoluthia.

Senin, 17 September 2012

"Viva L" by Ria Irawan



Tadi malem gue dapet kesempatan untuk nonton screening 2 film dengan tema LGBT karena dapet undangan mendadak dari Carmen. Acaranya sebenarnya terbuka untuk umum dan gratis. Namun sayangnya karena penyebaran undangannya bener-bener baru dilakukan sehari sebelumnya, banyak yang kurang tau tentang screening film ini. Lokasinya di sebuah restoran nyaman di daerah setiabudi bernama Rempah-rempah. Menurut jadwal sih mulainya jam 6, tapi karena masalah keterlambatan datangnya salah satu film, acara molor hingga lebih dari 1 jam. Kedua film itu berjudul Viva L dan Sanubari Jakarta. Bagi yang datang di QFF tahun lalu di acara pembukaan sih seharusnya udah tahu film Viva L. Sedangkan film Sanubari Jakarta udah pernah ditayangkan juga awal tahun ini di bioskop-bioskop Jakarta. Berhubung gue ngga sempat nonton dua-duanya, kesempatan untuk bisa nonton kedua film ini jadi surprise yang menyenangkan. Selain Carmen, kami datang dengan satu teman lagi.
Ketika datang kami langsung disambut hangat oleh beberapa orang yang kalau gue ngga salah lihat sih para pemain di film Viva L. Mba Ria Irawan sebagai sutradara film ini juga terlihat lalu lalang dan menyempatkan diri minta maaf karena molornya waktu screening. Tapi sembari menunggu si film datang, kami ditemani oleh salah satu dari pemain utama Viva L, Kak Dhadhe (kalau salah ketik namanya, mohon maaf ya). Kak Dhadhe sempat bercerita sedikit tentang behind the scene pembuatan film ini. Ternyata mulai dari brain storming hingga film jadi hasil editing terakhir hanya membutuhkan waktu semingu. Para pemain yang digunakan juga ngga ada satu pun yang seorang artis atau pernah sekolah akting. Jadi sebenernya gue udah siap dengan kualitas yang seadanya. Bener aja sih, film yang berdurasi hanya 9 menit ini kalau menurut gue pribadi kurang menunjukkan sisi emosional dari pesan yang berusaha dibawa oleh si film. Di akhir film disebutkan kalau film itu terinspirasi dari kisah nyata dimana seorang lesbian (L) yang menderita Leukimia bisa terus berjuang hidup, lebih dari prognosis dokter karena support dan cinta dari pasangannya.
Kualitas akting para pemerannya memang terlihat masih sangat mentah. Kak Dhadhe sih untuk ukuran seseorang yang katanya belum pernah berakting masih bisa memerankan L dengan cukup baik. Gue rasa pasangannya malah lebih better lagi aktingnya, tapi ngga banyak yang harus dia lakukan sih. Lalu antara satu act ke act lainya masih kurang smooth. Film ini termasuk “vulgar” karena menunjukkan banyak adegan making out antara kedua pasangan lesbian. Gue beberapa kali bingung kenapa kok tiba-tiba mereka udah langsung hap aja cium-ciuman ngga pake basa-basi apa gitu. Atau ada adegan-adegan dimana L tiba-tiba langsung pingsan di tengah-tengah making out. Gue sampe bercanda sama Carmen, jangan-jangan dia anxiety performance sampe passed out gitu hehe..tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan perduli ke individu yang jadi inspirasi ya. Kritik gue walaupun sependek apa pun si film, seharusnya dialognya bisa lebih berisi. Atau mungkin juga mba Ria Irawan emang ngga mau banyak dialog. Tapi ketika suatu film mau meminimalisir dialog, dibutuhkan pemain film yang memang udah biasa berakting sehingga memaksimalkan ekspresi dan bahasa tubuh untuk menyampaikan cerita. Gue rasa sayang aja masih banyak hal yang bisa dieksplorasi dari tema maupun plot cerita. Seorang lesbian yang menderita leukemia dan disupport oleh pacarnya sampai dia bisa terus kuat menjalani penyakitnya. Man, that’s a really good story waiting to be told. 
This movie is not a complete failure kok. At least nilai plus dari film ini adalah, gue bisa connect dengan bagaimana si pasangan memberikan perhatian sepenuhnya setiap saat ke L. Bagaimana setiap L harus kesakitan ketika dia harus meminum salah satu obat (yang mungkin merupakan obat Kemoterapi), sang pacar akan selalu memeluk dia dan mengucapkan sweet words to her ear dengan harapan meredakan sedikit rasa sakitnya. Gue rasa itu gambaran hubungan L yang cukup faktual. Tapi gue rasa ya balik ke kurang berisi itu tadi. Kalau yang nonton adalah para hetero, mereka ngga akan merasa ini suatu cerita yang pantas untuk dijadikan film. Mereka bisa berakhir dengan pertanyaan, “so what?”  Terlepas dari kekurangannya, film ini gue liat sebagai suatu langkah maju lagi untuk perfilman LGBT khususnya Lesbian di Indonesia. Satu judul lagi yang bisa ditambahkan dan dijadikan bahan untuk dilihat kelebihan dan kekurangannya.
Mba Ria Irawan di akhir film menambahkan bahwa beliau sedang merencanakan akan membuat beberapa film-film dengan tema LGBT lagi. Tapi degan genre yang berbeda-beda untuk setiap identitas. Misalnya seperti Viva L yang sudah menggunakan genre drama untuk Lesbian, beliau ingin menggunakan genre komedi untuk Gay, horror untuk Bisexual dan Musikal untuk Transeksual. Sounds very interesting right? Beliau juga menawarkan bahwa beliau akan dengan tangan terbuka menerima ide-ide dan transkrip film untuk tema LGBT ini. Gue sih kurang tau ya harus kontaknya kemana hahaha…paling sih ga jauh-jauh dari Qmmunity dan Om John Badalu. Anyone interested?
Untuk review Sanubari Jakarta-nya ngga malem ini deh. Puanjang bok. Sembilan film pendek dalam satu judul. Sekarang gue mau beraktivitas yang lain dulu hihi. Special thanks to Carmen yang udah mau ngajakin dan Kak Yas udah jadi a very nice company for the night. Good morning queers and have a nice rest or nice work =)

Note: Gue lagi nyesel banget ngga ambil foto lokasi atau poster filmnya karena ngga merencakan buat review haha...damn

Sabtu, 15 September 2012

Sakit/ Takut? Takut/Sakit?

Sebenarnya ide post ini udah lama main-main di kepala, tapi setiap kali mau dieksekusi secara formal, kepala gue menolak kerjasama. *buzz: Malas*

Pernah dengar 'what you don't know won't hurts you?'
Iya, orang kadang-kadang mengkaitkan istilah itu pada term 'kebohongan, kalau ga kebongkar ya bukan kebohongan" . Kebohongan masih valid sebagai fakta jika ga ada bukti yang bisa menyanggahnya.
Tapi bukan kebohongan yang mau gue bahas. Itu bukan jatah gue. I am a sinner, man. Hihi

Yang mau gue bahas, adalah 'rasa sakit dan korelasi pada sumber rasa sakit" halaaah.
Maksud gue gini, gue tergelitik waktu ngeliat anak-anak kecil yang eager banget nyoba segala sesuatu yang baru, baik yang (menurut kita) berbahaya maupun yang (menurut kita) kurang berbahaya. Anak-anak ini ga peduli akan resiko 'berpetualang' , mereka mungkin bahkan ga tau resikonya. Itu dasar pemikiran gue, rasa sakit yang ga lo kenal, ga akan bikin lo takut buat nyoba.

Kita sebagai orang dewasa, sering ragu-ragu buat bertindak karena udah kenal rasa takut itu. Takut patah hati bikin takut jatuh cinta. 
Takut sakit, jadi takut mandi hujan. Takut item, jadi jelek jadi takut keluar rumah, maen lari-larian di bawah matahari.  Takut ga punya duit, jadi bertahan di pekerjaan yang sucks.
Banyak hal yang bikin kita takut secara ga wajar. Karena kita mikir kejauhan.
(ini curcoool bok, hihi)

Rasa sakit yang tidak dikenal itu secara empiris memang berhubungan dengan dengan rasa takut yang kita miliki. Gue pernah baca satu buku yang membahas soal penggunaan peluru redam. Dulu di salah satu pertempuran di Asia antara tentara US versus pejuang gerilyawan, suku pedalaman. Suku Moro kalau ga salah. Para gerilyawan ini terkenal pantang menyerah, ditembak dengan membabi buta, tetap saja merangsek, maju menyerang, bahkan sampai 5 meter di depan si tentara.  Padahal secara wajarnya orang harusnya sudah roboh tertembak. 
Ternyata setelah dipelajari lebih lanjut, mereka ini seperti halnya binatang (singa atau badak atau hewan lain, walaupun sudah tertembak tetap punya keinginan untuk menyerang),  karena mereka ga kenal bahaya dari si peluru. Kolerasi antara rasa takut dan rasa sakit.

Pengujian lebih lanjut secara random sampling, pada subyek yang sudah "kenal" bahaya senapan/pistol/senjata api, tiba-tiba mereka di"tembak", kebanyakan menunjukan reaksi "sewajarnya" orang tertembak. Mati. Haha. Jadi orang-orang yang "tertembak" ini dengan asumsi mereka terluka, tiba-tiba pingsan / berfikir mereka mati, langsung rebah di tanah. Padahal ga ada yang terjadi mereka secara physical. Binatang kan juga gitu ya, karena udah tau kalau ada orang-orang yang akan mukul mereka, ngeliat tongkat pun mereka cenderung untuk takut lebih dulu. Mendeking atau ngapain gitu.

Weird isn't it , bagaimana kerja otak mengatur emosi dengan segala macam reaksi physical.

Pertanyaan gue, gimana caranya mengelola pengetahuan akan rasa sakit ini agar tidak menjadi hal yang mengganggu atau menghalangi kita mengambil kesempatan atau mencoba hal-hal baru?
I mean, man, we need to live the life, right?

AND YOU SAID THAT YOU'RE COMPLETELY STRAIGHT?

@ @

EVERYTIME I HEARD YOU YAPPING ABOUT YOUR NONEXISTING LOVE LIFE.