Halaman

Senin, 17 September 2012

"Viva L" by Ria Irawan



Tadi malem gue dapet kesempatan untuk nonton screening 2 film dengan tema LGBT karena dapet undangan mendadak dari Carmen. Acaranya sebenarnya terbuka untuk umum dan gratis. Namun sayangnya karena penyebaran undangannya bener-bener baru dilakukan sehari sebelumnya, banyak yang kurang tau tentang screening film ini. Lokasinya di sebuah restoran nyaman di daerah setiabudi bernama Rempah-rempah. Menurut jadwal sih mulainya jam 6, tapi karena masalah keterlambatan datangnya salah satu film, acara molor hingga lebih dari 1 jam. Kedua film itu berjudul Viva L dan Sanubari Jakarta. Bagi yang datang di QFF tahun lalu di acara pembukaan sih seharusnya udah tahu film Viva L. Sedangkan film Sanubari Jakarta udah pernah ditayangkan juga awal tahun ini di bioskop-bioskop Jakarta. Berhubung gue ngga sempat nonton dua-duanya, kesempatan untuk bisa nonton kedua film ini jadi surprise yang menyenangkan. Selain Carmen, kami datang dengan satu teman lagi.
Ketika datang kami langsung disambut hangat oleh beberapa orang yang kalau gue ngga salah lihat sih para pemain di film Viva L. Mba Ria Irawan sebagai sutradara film ini juga terlihat lalu lalang dan menyempatkan diri minta maaf karena molornya waktu screening. Tapi sembari menunggu si film datang, kami ditemani oleh salah satu dari pemain utama Viva L, Kak Dhadhe (kalau salah ketik namanya, mohon maaf ya). Kak Dhadhe sempat bercerita sedikit tentang behind the scene pembuatan film ini. Ternyata mulai dari brain storming hingga film jadi hasil editing terakhir hanya membutuhkan waktu semingu. Para pemain yang digunakan juga ngga ada satu pun yang seorang artis atau pernah sekolah akting. Jadi sebenernya gue udah siap dengan kualitas yang seadanya. Bener aja sih, film yang berdurasi hanya 9 menit ini kalau menurut gue pribadi kurang menunjukkan sisi emosional dari pesan yang berusaha dibawa oleh si film. Di akhir film disebutkan kalau film itu terinspirasi dari kisah nyata dimana seorang lesbian (L) yang menderita Leukimia bisa terus berjuang hidup, lebih dari prognosis dokter karena support dan cinta dari pasangannya.
Kualitas akting para pemerannya memang terlihat masih sangat mentah. Kak Dhadhe sih untuk ukuran seseorang yang katanya belum pernah berakting masih bisa memerankan L dengan cukup baik. Gue rasa pasangannya malah lebih better lagi aktingnya, tapi ngga banyak yang harus dia lakukan sih. Lalu antara satu act ke act lainya masih kurang smooth. Film ini termasuk “vulgar” karena menunjukkan banyak adegan making out antara kedua pasangan lesbian. Gue beberapa kali bingung kenapa kok tiba-tiba mereka udah langsung hap aja cium-ciuman ngga pake basa-basi apa gitu. Atau ada adegan-adegan dimana L tiba-tiba langsung pingsan di tengah-tengah making out. Gue sampe bercanda sama Carmen, jangan-jangan dia anxiety performance sampe passed out gitu hehe..tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat dan perduli ke individu yang jadi inspirasi ya. Kritik gue walaupun sependek apa pun si film, seharusnya dialognya bisa lebih berisi. Atau mungkin juga mba Ria Irawan emang ngga mau banyak dialog. Tapi ketika suatu film mau meminimalisir dialog, dibutuhkan pemain film yang memang udah biasa berakting sehingga memaksimalkan ekspresi dan bahasa tubuh untuk menyampaikan cerita. Gue rasa sayang aja masih banyak hal yang bisa dieksplorasi dari tema maupun plot cerita. Seorang lesbian yang menderita leukemia dan disupport oleh pacarnya sampai dia bisa terus kuat menjalani penyakitnya. Man, that’s a really good story waiting to be told. 
This movie is not a complete failure kok. At least nilai plus dari film ini adalah, gue bisa connect dengan bagaimana si pasangan memberikan perhatian sepenuhnya setiap saat ke L. Bagaimana setiap L harus kesakitan ketika dia harus meminum salah satu obat (yang mungkin merupakan obat Kemoterapi), sang pacar akan selalu memeluk dia dan mengucapkan sweet words to her ear dengan harapan meredakan sedikit rasa sakitnya. Gue rasa itu gambaran hubungan L yang cukup faktual. Tapi gue rasa ya balik ke kurang berisi itu tadi. Kalau yang nonton adalah para hetero, mereka ngga akan merasa ini suatu cerita yang pantas untuk dijadikan film. Mereka bisa berakhir dengan pertanyaan, “so what?”  Terlepas dari kekurangannya, film ini gue liat sebagai suatu langkah maju lagi untuk perfilman LGBT khususnya Lesbian di Indonesia. Satu judul lagi yang bisa ditambahkan dan dijadikan bahan untuk dilihat kelebihan dan kekurangannya.
Mba Ria Irawan di akhir film menambahkan bahwa beliau sedang merencanakan akan membuat beberapa film-film dengan tema LGBT lagi. Tapi degan genre yang berbeda-beda untuk setiap identitas. Misalnya seperti Viva L yang sudah menggunakan genre drama untuk Lesbian, beliau ingin menggunakan genre komedi untuk Gay, horror untuk Bisexual dan Musikal untuk Transeksual. Sounds very interesting right? Beliau juga menawarkan bahwa beliau akan dengan tangan terbuka menerima ide-ide dan transkrip film untuk tema LGBT ini. Gue sih kurang tau ya harus kontaknya kemana hahaha…paling sih ga jauh-jauh dari Qmmunity dan Om John Badalu. Anyone interested?
Untuk review Sanubari Jakarta-nya ngga malem ini deh. Puanjang bok. Sembilan film pendek dalam satu judul. Sekarang gue mau beraktivitas yang lain dulu hihi. Special thanks to Carmen yang udah mau ngajakin dan Kak Yas udah jadi a very nice company for the night. Good morning queers and have a nice rest or nice work =)

Note: Gue lagi nyesel banget ngga ambil foto lokasi atau poster filmnya karena ngga merencakan buat review haha...damn

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Viva L memang biografi kak Dhadhe. Dia pernah bahas di Sepocikopi bbrp waktu yang lalu.
http://sepocikopi.com/2012/07/16/dhadhe-sakit-itu-bukan-cobaan-tapi-pem

Anywway, setuju sama pendapat Mithya....

Salam