Halaman

Minggu, 29 April 2012

Coming out as a person with BPD




To be queer and mentally ill LoL just kidding. Let’s just say, to have a challenging personality. Sebagai seorang in the closet queer, gue rasa banyak banget yang bisa merasa senasib sepenanggungan dengan gue. Tapi gue baru kenal segelintir yang juga queer dan punya masalah gangguan kepribadian atau gangguan um..mental hahaha. God, that is so weird to say things like this dimana masyarakat sini masih menganggap kata-kata “gangguan mental” sangat negatif dan identik dengan GILA. Whew..imagine all the prejudice our society have about gay people. Now add all the prejudice our society have about mentally troubled people. Nah, nikmat kan? Sebenernya gue yakin banyak banget di luar sana yang punya nasib sama dengan gue, tapi either lo sama ngerinya dengan reaksi orang lain atau lo bahkan ngga sadar lo punya masalah psikologis.

Gue pingin share sedikit dengan cerita gue coming out. Bukan sebagai queer, tapi sebagai seseorang yang punya gangguan kepribadian. Gue udah cerita dikit kalau gue punya gangguan kepribadian borderline. Dan walaupun sepertinya gue pernah menjanjikan menjelaskan lebih lanjut, gue masih males banget hahaha…Intinya gangguan kepribadian gue yang paling um..sebut aja “normal” diantara 9 gangguan kepribadian yang lain tapi termasuk yang paling menyiksa diri sendiri dan orang terdekat karena masih sadar betul dengan kelakuan-kelakuan ngaco yang bisa diperbuat karena punya gangguan ini. Feel free lho untuk google. But try to keep open minded dan jangan seenaknya ngebuat judgement kalau belum bener-bener ngerti. Apalagi kalau lo belum pernah berinteraksi secara dekat dan intensif dengan satu makhluk hidup yang punya masalah ini. Itu namanya sotoy hehe..

Kayaknya kita semua yang in the closet tau gimana rasanya ngeri kalau sampe orang lain apalagi orangtua tau kita queer. Selama ngumpet-ngumpet aja gue yakin kalian udah pernah ngalamin beberapa kali yang namanya “gay panic”. Itu lho, panik-panik bergembira ketika rasanya lo atau ada orang lain yang melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan identitas queer lo terbongkar haha. Terus ada nih privilage moment buat beberapa orang yang punya keberanian besar untuk akhirnya coming out ke orang tua mereka. Rasanya juga panik-panik bergembira tuh hehe. Well I dont know how it feels to come out to your parents that you are gay, but I'm gonna guess that its not that really completely different from coming out to your parent that you are mentally ill. At least in Indonesia...dan at least ke orang tua macam orang tua gue. Gue ngomongin tentang gimana rasanya waktu lo menimbang dan akhirnya memutuskan untuk come out, tentang kejadian hari H dimana akhirnya lo ngomong secara langsung dan reaksi orang tua setelahnya.

Kejadiannya waktu itu hanya beberapa hari dari gue dikasih tau sama psikolog gue kalau gue didiagnosa punya gangguan kepribadian borderline (iya, psikolog bisa juga punya psikolog,. Emang cuma jeruk doang yang boleh makan jeruk? hehe). Rasanya dunia gue dibolak balik. Bukan karena hasil diganosanya, karena gue udah curiga sama diri gue sendiri sebelum didiagnosa, tapi lebih karena gue harus ngasih tau hasilnya ke orang tua gue. Lain dengan queer yang mungkin bisa cukup lama menyembunyikan identitasnya, punya gangguan kepribadian tanpa dapet support dari lingkungan terdekat lo bisa berakibat cukup buruk. Gue terus-terusan menimbang pro dan kontra dari gue coming out. Terus-terusan cemas dengan bagaimana reaksi orang tua kalau udah tau dan bagaimana gue harus siap dicap sebagai "orang sakit" yang pada saat-saat tidak menyenangkan bisa dijadikan senjata untuk menyakiti gue.

So there I was. Duduk di seberang orang tua gue dan memberikan hasil surat tes psikologi berisi penjabaran diagnosa diri gue. Isinya ngga ringan, men. Gue dibilang hostile, paranoid, kurang dalam kemampuan mengendalikan emosi, dan mudah mengalami depresi, (whew, gue harus tarik napas dulu nulis ini semua hehe). Mau gue misalnya sepinter apa pun di psikologi atau bahkan udah curiga sebelumnya dengan kondisi ini, untuk pada akhirnya ngebaca hasil itu semua di sebuah kertas dengan cap resmi Rumah Sakit dan tanda tangan si psikolog, gue masih ngerasa kayak ditonjok perutnya hehe. Terus gue harus nunggu reaksi orang tua ngebaca penjabaran diagnosa gue sepanjang 2 halaman kertas HVS yang rasanya kayak duduk disitu selama beberapa jam. Pertama nunggu reaksi bokap, terus nunggu reaksi nyokap. nyett..gue sih gayanya sok sibuk (padahal cuma mainin HP), padahal perasaan udah kayak diaduk-aduk ketakutan.

Hasilnya? Bokap ngga bicara banyak. Gue termasuk beruntung punya bokap yang cukup smart. Bisa cukup ngerti dengan psikologi dan udah cukup terbuka dan santai untuk nanya-nanya tentang masalah yang gue alami, atau apa yang gue dapet tiap gue pulang dari sesi terapi gue ke psikolog. Dia "hanya" menanyakan apa yang bisa gue lakukan untuk memperbaiki keadaan gue. Tapi kalau nyokap kasusnya lain. Nyokap gue orang yang sangat konservatif dan sangat in denial tentang banyak hal. Dia bahkan ngga baca surat itu sampe akhir. Granted waktu itu kita dikejar waktu untuk urusan lain, tapi dia ngga nanya lagi untuk menyelesaikan membaca surat itu to this day. Sedangkan gue ngga punya energi untuk menghadapai betapa negatifnya reaksi nyokap terhadap kondisi gue sekali lagi.

Perasaan gue ngga karuan. Satu sisi gue masih dapet pengertian dari bokap, tapi di sisi lain gue ngerasa kayak nyokap ngga perduli sama sekali. Masih menanyakan hal-hal yang udah jelas jawabannya berhubungan dengan keadaan gue, seakan-akan gue melakukan semua hal yang gue ngga mampu kontrol karena gue males usaha. Masih menuduh gue dengan hal-hal yang ngga menyenangkan. Bahkan terkadang kalau dia udah marah, manggil gue dengan sebutan "dasar kamu emang orang aneh". Ironis memang. Gue seorang psikolog yang salah satu orang tuanya bener-bener ngga ngerti (atau ngga mau usaha ngerti) tentang psikologi. Ngerti kan kenapa gue bisa ngeliat paralel antara coming out sebagai queer dan sebagai seseorang dengan gangguan mental?

Dengan keadaan pola pikir masyarakat kita yang masih cukup primitif seperti sekarang, banyak hal yang bisa disembunyikan orang karena mereka takut dengan bagaimana orang lain melihat diri mereka. Cuma bisa mengambil fokus apa yang dianggap orang lain negatif dan lupa dengan apa yang dimiliki sisanya yang positif dari orang itu. Seorang queer cuma bisa dilihat sebagai gay/lesbian/biseksual, hence, pendosa atau orang aneh, terus ngga ada lagi yang bisa diliat dari diri mereka. Seseorang yang punya gangguan kepribadian cuma bisa dilihat sebagai orang gila. Lucunya, kebanyakan masyarakat belum berusaha untuk mengerti lebih lanjut untuk topik-topik yang tabu ini dan udah cukup puas dengan apa yang mereka percaya dari apa yang mereka dengar dari orang lain.

Keadaan seperti ini kayak lingkaran setan. Ketika masyarakat menutup mata tentang hal-hal yang dianggap negatif dan tabu serta ngga mau belajar lebih lanjut, hal ini juga berpengaruh besar ke kemauan si individu yang memiliki sesuatu yang disembunyikan ini untuk mencari tahu lebih lanjut. Mau cari tahu kemana kalau nanya aja mungkin udah bikin perasaan panik-panik bergembira muncul? Hasilnya? Baik masyarakat yang ignoran atau pun si indivdu jadi sama-sama bodoh. Padahal semakin banyak kita mengerti tentang hal-hal yang dianggap tabu ini, semakin besar rasa empati kita, semakin besar rasa ingin menolong kita dan banyak banget keadaan-keadaan buruk yang mungkin terjadi karena konsekuensi bisa dihindari.

SO I'm pleading here. Sebagian besar pembaca blog ini adalah queers, jadi kurang lebih tau ya rasanya dijudge sebagai orang aneh hanya karena kita queer. Jadi yang gue minta tolong, kalau kalian belum begitu menerti tentang gangguan mental, coba deh cari tau dikit sebelum ketok palu. Apalagi kala u ada orag-orag di sekitar kalian yang memang memiliki masalah itu. Siapa tau bahkan lo mungkin bisa ngebantu mereka-mereka yang belum sadar dan dapet bantuan. Sisanya yang straight, baik gay friendly or not, gue harap kalian juga udah punya sikap positif untuk berusaha mencari tahu tentang hal-hal yang kalian ngga begitu ngerti dan bahkan ngga mengalaminya sendiri. Kalian juga bisa membantu lebih baik kalau kalian mengerti toh? Be it you want to try to make a queer go straight atau seseorang dengan gangguan mental mendapat treatment yang tepat. All your free choice. It wont hurt to learn more right? 

Minggu, 01 April 2012

Pro minoritas

Sebulan yang lalu gue dibuat kesel sama jawaban ngasal Lushka. Ceritanya kita rencana mau ketemuan. Biasanya juga gue nanya ada yang mau dibawain ngga. Soalnya gue kan biasanya jadi distributor lagu dan film buat Lushka hehe...pas gue tanya dia mau lanjutin nonton Glee atau ngga, biar gue burn ke DVD, ternyata dia nolak. Alasannya yang bikin gue kesel: "Abis sekarang semua orang udah tau Glee. Udah pada ngomongin mulu di twitter, jadinya males." DOENG..gue takjub. Langsung nyolot gara-gara jawaban ngga masuk akal kayak gitu. Bisa-bisanya suka sama sesuatu HANYA karena ngga ada yang tau. Sepenting itu kah untuk jadi beda dibanding esensi si film/seri itu sendiri?? Ujung-ujungnya sih setelah gue sindir entah berapa kali, Lushka nyerah juga dan mengakui kalau alasannya rada ngaco. Dia emang lagi bosen juga (inget kan betapa mudahnya si Lushka bosen sama sesuatu?).

Nah, hari ini gue keinget tentang hal serupa yang kejadian sama diri gue sendiri. Gue punya sifat pro-minoritas yang mungkin lebih parah dari Lushka. Gue udah lama denger kalau Titanic mau dibuat 3D dan ditayangin ulang. Akhirnya kejadian juga tuh. Mulai minggu depan, Titanic 3D bakal ditayangin di bioskop-bioskop Amerika. Hal ini mengingatkan gue kalau dulu gue anti banget nonton Titanic. Lebih tepatnya SEMUA film Leonardo DiCaprio. Pada jamannya, Mas Leo ini mulai terkenal luas lewat perannya di film Romeo and Juliet versi remaja. Walaupun karir filmnya udah dimulai jauh lebih muda dari itu. Standar lah, pada masa Mas Leo muda ini, tabloid remaja Jakarta demen banget ngebahas betapa GANTENGnya para aktor-aktor muda yang lagi terkenal pada masa itu beserta poni pirang belah pantat mereka. Oh the gruesome men's hair in the 90's. Inget JTT atau Devon Sawa? Hahaha...nyebut nama mereka bikin inget umur deh..jadi ngga enak sendiri. Intinya waktu itu gue kesel banget ngeliat gimana cewek-cewek seumur gue bisa tergila-gila dengan para aktor yang aktingnya aja baru beberapa kali, cuma karena GANTENG BERATS BOW...




JTT sama Devon Sawa waktu itu nga terlalu signifikan karena mereka emang cuma muncul sekali-dua kali di film dan hilang entah kemana rimbanya. Si Mas Leo ini yang bikin gue gregetan. namanya muncul dalam beberapa film yang muncul hampir saling berdekatan seperti Titanic, The man in the iron mask dan The Beach. Gue waktu itu bertekad ngga bakalan nonton film-film "sampah" Mas Leo ini. Karena gue yakin banget dia cuma jual tampang DAN karena semua orang sepertinya suka banget sama dia.

Akhirnya setelah hampir 10 tahun film Titanic keluar, gue iseng nonton Catch me if you can di RCTI. Gue pikir yasudahlah ya..ngga ada kerjaan, ada Tom Hanks sebagai pemeran utama, dan mulai nyadar betapa kekanak-kanakannya alasan gue ngga mau nonton film-filmnya Mas Leo. Belum nonton kok udah sibuk menghakimi. Ternyata gue cukup terkesan dengan aktingnya di film itu. Pelan-pelan kalau ada film dia di TV, gue mau nonton. Gue nonton Titanic lengkap setelah hampir 10 tahun ditayangin di bioskop. Pendapat gue ngga bener-bener salah sih...dulu jaman dia main di Titanic atau jaman dia masih terhitung muda, aktingnya biasa aja. Cenderung ngga berarti. Tapi sepertinya semenjak Catch me if you can, dia mulai nunjukkin kalau dia bisa jadi aktor watak yang bagus. I can name a few after that seperti Inception atau Blood diamond.

Intinya, gue sebenernya ngerti banget perasaan Lushka yang pro-minoritas ini. Gue bisa bener-bener ngga suka sama Mas Leo karena semua cewek pada masanya tergila-gila sama dia. Ngga cuma dalam hal aktor/aktris. Jangan harap gue akan pernah ngebela Manchester United. Sampe detik ini gue benci banget sama tim itu hanya karena pada masanya (dan sekarang masih agak juga sih), mereka tim yang punya nama paling disebut diantara semua tim bola lainnya. Di saat hampir semua orang pilih tim eropa di World Cup, gue bela-belain tim afrika dan asia (walaupun pada akhirnya untungnya ternyata tim non-eropa mainnya GAHAR bos hihi..). Dari tim Jepang belum punya gigi, gue udah bela mereka abis-abisan sebelum akhirnya mereka juga jadi salah satu tim favorit dunia akhir-akhir ini.

Bedanya sama Lushka..gue kalau udah sempet jadi minoritas yang ngefans sama sesuatu terus tiba-tiba si "sesuatu" ini jadi kesukaan banyak orang, gue bukan ilang rasa sama si "sesuatu". Gue bakal kesel berat sama orang-orang yang baru melek. Gue kesel sama orang-orag yang baru jadi suporter Jepang atau Korea , gue kesel sama orang-orang yang baru suka sama hoobastank atau semisonic. Pokoknya gue duluan, itu punya gueeee...hahahaha...ga kurang childish apa lagi coba? Kalau sampe gue suka sesuatu yang disukain orang banyak, si "sesuatu" itu harus bener-bener berkesan dan worth it.

Tapi itu dulu. Sekarang sih nyisa dikit-dikit aja. Gue rubah dari kesel sama orang-orang yang baru melek, jadi belagu karena gue yang suka dan tau duluan hahaha...penting ngga sih jadi minoritas untuk hal-hal sepele? ngga kan? yang matters itu hanya lo suka atau ngga. That's it.

Jadi, note to self: Pro-minoritas bisa jadi bikin ngerasa keren tapi kalau berlebihan bisa kekanak-kanakan. =P

psst..lagian Mas Leo kan sekarang udah gendutan tuh..tua dikit dia bisa mirip banget sama Jack Nicholson. Jadi kalo cewek-cewek masih pada suka, artinya ngga cuma karena tampangnya aja huahahaha...