Aku ingin menulis sesuatu. Bukan. Bukan menulis. Menulis itu menggunakan alat tulis. Aku tidak.
Ah sudahlah, aku mau bercerita.Ini tentang kutang merah jambu.
Tolong, jangan tertawa. Ini serius.
Aku membelinya di Mangga Dua. Harga grosir. Satuannya lima puluh ribu, tapi kalau membeli tiga cuma seratus ribu. Penghematan gila-gilaan, begitu kata pemilik toko. Aku cuma menyungging senyum tipis dan berkata sinis 'tapi kau sudah dapat untung, kan?', dalam hati tentu saja. Aku segera mengenyahkan hitungan matematis soal laba si Encik dari kepala. Aku mau beli beha, kualitas bagus, harga murah.
Segera kupilih dan kupilah model mana yang aku mau. Merah, sporty. Hitam dan merah jambu, seamless, tanpa jahitan. Buatan cina, tapi setelah aku teliti, kualitasnya tidak berbeda beha-beha bermerek seharga ratusan ribu satunya, yang dijual di gerai-gerai khusus di Mal.
36, B. Pintaku menyebut ukuran.
"Yaah, yang merah dan hitam habis ukuran 36'nya. Tinggal yang merah jambu" , sesal si pemilik toko dari balik meja tempat Ia menyimpan tumpukan beha berbagai warna. Bahuku melorot. Masa harus beli 3-3nya warna pink?. Satu model pula. Tapi kalau beli satu, rugi juga.
"Ci, 34 dong. Yang ungu dan biru", seru perempuan di belakangku memecah kebisuan antara aku dan si Encik.
Aku menoleh ke belakang, ke empu suara.
Perempuan berambut panjang termanis yang pernah aku lihat, mengacungkan 1 model beha tinggi di depan dada. Gadis manis bercelana pendek Bermuda hitam dan baju putih berkerah Sabrina bunga-bunga. Beberapa detik kami saling menatap. Beberapa detik, detakku melambat. Sebentuk senyum membentuk surga di kepala.
"Kamu manis sekali", ucapku tanpa sadar.
'Apa?', tanyanya membuatku gelagapan. Alisnya sebelah terangkat tinggi menatap jenaka.
'Hehe. Engga", jawabku salah tingkah sambil memencet-mencet beha merah jambu di tanganku tanpa sadar. Aliran darahku mengalir deras ke muka semua. Dia berjalan ke konter, melewatiku. Beberapa helai rambutnya mampir di lengan. Demi semesta! Pori-pori di kulitku meremang.
Aku berdiri, diam. Bodoh sekali rasanya. Kuputuskan untuk menjajari dan berdiri di sampingnya, mempelajari si pembuat onar di dada lebih jelas.
Rambut sepunggung, harum apel. Lurus dengan ikal cantik di ujung-ujungnya. Anak-anak rambut di dahinya berlarian tertiup kipas angin di dinding toko. Postur tegap, setinggi aku. Berdiri dengan bertelekan tangan kiri di dagunya. Bertumpu di kaki kiri, kaki kanan menyilang, menahan di ujung sepatu.
Telinga mungil, berbentuk hati. Bentuk mukanya lonjong, mriyaneni kalau orang Jawa bilang. Hidungnya tak terlalu mancung menantang angkasa tapi tak juga tenggelam. Bibirnya merah, berkilap, basah. Kulit mukanya lembab oleh keringat.
Aku masih diam, terpesona. Bodoh kuakui. Tapi tak berdaya. Dia tidak peduli sepertinya aku ada.
Perempuan berambut panjang ini mengambil beha ungu dan biru tanpa renda (yang entah kenapa fakta ini membuatku lega, aneh, apa urusannya pilihan tanpa rendanya denganku?) . Ukurannya 34 seperti yang dia minta, kalau menurutku dengan cup B.
Di bawanya kedua benda pelawan gravitasi itu ke ruang ganti yang cuma sebilik berukuran kurang dari 3 keramik dengan kain korden cukup tebal bergantungan di rel dari besi.
Aku mendadak lemas, menyadari mataku masih mengikuti gerak-geriknya. Korden tertutup.
Korden tersingkap.
Kepalanya menyembul. Celingukan mencari si pemilik toko. Si Encik, setelah melayani si Manis ini pergi ke depan merapikan dagangan. Tiba-tiba matanya bersirobokan denganku. Membesar, menawarkan senyum.
'Eh, boleh minta tolong? Please..', mengiba
Aku bengong. Menengok ke kanan dan ke kiri. Seperti Ondel-ondel ngibing. Kebodohan pertama.
'Aku?', tanyaku menunjuk dada. Kebodohan kedua, karena tidak ada orang lain selain kami di situ. Kecuali jika dia bisa melihat yang tak kasat mata.
'Iya, sini, bentar, tolongin', pintanya.
Aku menurut. Melangkah canggung ke bilik ganti, seperti murid baru disuruh memperkenalkan diri di depan kelas untuk pertama kalinya.
'Kenapa?', tanyaku parau. Sial. Semoga Ia tidak sadar.
Dia menarik tanganku ke dalam. Ya Tuhan.
Aku bingung harus melihat kemana. Ke punggung setengah terbuka atau jika lurus ke depan, aku melihat ke dadanya terpantul dari kaca seukuran badan.
Iya sih, tertutup beha hitam yang sedang dipakainya. Walaupun istilah tertutup tidak juga tepat. Puncak-puncaknya masih terlihat. Dia memakai model beha yang hanya menutup separuh payudara. Aku salah tingkah.
Memunggungiku sambil menarik sebagian rambut panjangnya ke depan, dia menjelaskan situasi genting yang terjadi. Rupanya, ada sejumput rambut tersangkut di ristleting di punggung baju saat ia mencoba melepaskannya untuk menjajal beha. Dan Ia membutuhkanku untuk membebaskan rambut dari ritsleting keparat itu.
Aku menghela nafas , menelan ludah diam-diam, berharap tidak ketahuan.
Menenangkan diri, aku melihat lebih dekat rambut malang yang tersangkut di sela-sela ritsleting itu. Tapi tulang punggungnya yang terbuka mengganggu sekali. Indah. Aku takkan heran jika dari situ muncul sayap-sayap putih berkilauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar