As I look to my text books, I actually feel sad. Gue ngerasa jadi orang cacat karena ngga mampu lagi merasakan nikmatnya belajar psikologi. Rasanya kayak pelari marathon yang tiba-tiba kecelakaan dan mengalami lumpuh di bagian kaki. Gue masih cinta sama psikologi, tapi passion gue hilang. Apa yang lebih buruk dari kehilangan passion dan semangat dalam mencintai sesuatu? You wouldn’t want to do anything about it. Jenuh? Ngga tau juga. Rasanya ngga mungkin gue bisa jenuh dengan psikologi. Terlalu banyak hal yang belum gue tahu dan pelajari tentang manusia. Kadang pingin nyalahin keadaan rumah, tapi gue percaya kalau cuma diri sendiri yang bisa menentukan keberhasilan atau kegagalan. Ya, mental gue sedang tidak sehat karena urusan njelimet di rumah. Tapi boleh ngga itu gue jadikan alasan? Gue kangen merasa “lapar” dengan ilmu. Rasa tertekan gue setidaknya bisa diimbangi dengan fakta kalau gue bisa belajar sesuatu yang gue cintai. Kalau rasa “eager” itu hilang, gue harus bertahan dengan apa?
Gue terlalu takut ngga bisa memberikan yang terbaik dari diri gue. Gue ngga baik dalam menerima kegagalan. Arti gagal standar gue diatas rata-rata orang kebanyakan. Terlalu banyak label ditempelkan ke gue sampe gue capek berusaha memenuhi semua harapan orang. Kalau Mithya ngga jadi yang terbaik, artinya Mithya ngecewain semua orang. Kenapa kalau sekalinya kita diatas semua orang harus terus menganggap kita akan terus berada diatas? Gue ngga terlahir dengan bakat bisa dengan mudahnya berada di atas. Setengah hidup gue dipakai untuk berjuang mendapatkan label yang terbaik itu. Once in a while gue pingin orang-orang berhenti berharap dan gue juga bisa berhenti menekan diri sendiri untuk terus jadi yang terbaik. God, I hate lable.
Sifat paling alami manusia adalah ketika sudah dapat nomor 2, pasti dia akan berusaha untuk mendapatkan nomor 1. Kalau ternyata nomor 1 adalah batasnya, apa lagi yang harus dikejar? Kalau turun ke nomor 3 kenapa harus terasa menyakitkan?
Apa? Orang akan tetep sayang sama gue walaupun gue bukan yang terbaik? Ya, tapi sayang tok ngga akan bisa bikin kita selamat hidup di dunia yang ngga pake kompromi.
Sukses itu mengerikan karena kita ngga akan pernah bisa beristirahat. Hidup itu mengerikan karena waktu ngga akan pernah melambat karena kasihan dengan kita. “Average people can not survive.”, a sentence my dad told me over and over since I was in elementay school and I’m haunted since.
Yep, ambisi gue ngga diimbangi dengan mental yang sehat.
Gue tau semua kata kuncinya, semua jawabannya, tapi gue ngga bisa memperbaiki ini semua sendiri.
5 komentar:
kayaknya itu bukan sukses deh...
yg lu maksud itu adalah compete, alias berkompetisi, sukses itu tidak perlu berkompetisi, sukses itu bukan berarti menang, sukses itu bukan berarti juara, sukses itu bukan berarti lebih, sukses bukan berarti duluan, sukses bukan berarti berkelebihan...
sukses bukan titel yg diberikan org, sukses bukan bawaan lahir, sukses itu bukan marga, sukses itu tidak bisa di wariskan, sukses itu tidak bisa di lestarikan, sukses itu tidak perlu di raih dan di gapai,
tapi,kesuksesan itu sungguh sangat sederhana adanya, org tua udah sukses membesarkan anaknya kalo anaknya tidak end up in jail ato drug addict ato involve in criminal, kita sukses berpendidikan, kalo kita bisa menjadi mengerti apa yg kita pelajari, instead of those big numbers, karena sebenarnya, apa yg guru/dosen/pendidik/pembicara kita tau? mereka belum tentu mengerti, mendalami topik itu, mereka bisa saja seorang beo yg sedang mengulang, mengulang apa yg duluan dia baca, lalu di ulangkan kembali kepadamu, dan kalo tidak kau gunakan kemampuan daya menganalisa mu, elo akan kembali menjadi seorang beo, yg akan kau ulangkan kepada org lain nya lagi
so your dad was wrong dengan teori nya yg lebih ke arah kompetisi, but your dad is right membuat lu termotivasi, and since now lu udah gede, udah tau mengunakan kemampuan mengerti dan menganalisa, you supposed to know what you want in your life, and not living in other people's standard
quarter life crisis ya bok? been there done that. saran gw yaa, tenang aja, kemampuan orang kan ada batasnya, kl satu titik lo stagnan jg lo bakal nrimo sendiri. Kayanya udah mekanisme diri deh. Jadi kalo mau terus ngoyo ya gpp, soon u'll know ur limit.
Terus itu yg bikin hidup lo tertekan,clemotin aja mukanya pake sambel, hehehhe.
Epentje: Kesuksesan sebenarnya punya arti yang sangat subjektif. Apa yang lo jelasin lebih tepat kalau digambarkan dengan kata-kata seperti "content" atau "bahagia". And yes, arti sukses yang ditanamkan bokap dari gue kecil tidak menyenangkan. Tapi bukan salah. Pada akhirnya memang harus gue sendiri yang memilih mau sukses yang seperti apa. Masalahnya saat ini gue keburu terbentuk jadi orang yang mengerti arti sukses dari kacamata bokap. berusaha membanggakan dia dari standar dia. But hey, I wouldnt know. Setidaknya dengan menyadari kalau sukses dari kacamata bokap tidak menyenangkan, gue bisa belajar mengambil arti sukses dari kacamat gue sendiri. Thanks epentje =)
Siska: Kalau krisis Quarter life itu masalah lain gue hwahahaha...ya ampunnn..tiap mau ultah gue stres ngeliat tanggung jawab yang semakin menumpuk buat diri sendiri. idup gue kok ribet amettt...duh, jangan sampe deh gue punya limit (lho? gini nih yang bikin capek diri sendiri). Kalau mau celemotin sambel, lo mau nyumbang cabe ga? mahal bok cabe sekarang kekeke...
Walaupun saya bahagia di rumah, tapi saya memilih untuk tinggal jauh dari ortu. salah satunya, begini ini. kalo jauh kan tiap ketemu kangen-kengenan aja. Belum habis kangennya, udah pergi lagi...gak sempet bahas ekspektasi mereka, heheh...
eniwei, kehilangan passion ngeri. Mudah-mudahan mbak mithya cuma lagi jenuh aja. Jangan sampe jadi imposter yah...
(persi gak mau kalah)
karena subjektif, artinya gw bisa taruh subjek nya di depan, di tengah ato di belakang kan?
artinya, kalo gw taruh di belakang, bahwa sukses itu gak penting, being contented itu adalah awal dari sukses, proses menuju sukses dan inti dari kesuksesan itu sendiri, krn what do you feel when you feel success? contented kan?
tapi sebenarnya daerah paling berbahaya adalah ketika kita menggunakan org lain sebagai patokan, you'll tired yourself..
you'll need to learn to find a base, here i am, i am standing here, i will build my dream from this foundation, bisa aje masih rumah gubuk, but i am standing on foundation, yg lain bisa jadi istana, tpi mengapung di permukaan yg tidak kokoh... i think we all know good foundation is the base of everything, jadi kalo lu udah menemukan pondasi pemikiran lu, segala pemikiran bisa berdiri diatasnya, soon elo udah bisa ngalain pembicara2 tengil komersial cari uang yg ngaku2 motivator yg gak jauh2 dari plagiat, ngutip dan beo apa yg mereka baca... gosh... next time.. suruh mereka bikin contoh yg lain, yg gak mirip tapi intinya sama, kalo susah.. dia belum pegang inti omongan dia.... macam gw geto deh... asal ngoceh ajehhh... tpi pan gw gak ngaku motipator hehehe
Posting Komentar