Halaman

Selasa, 06 Januari 2009

Sang badut

Seorang badut yang sebenarnya seumur hidupnya membuat lelucon hanya untuk dirinya sendiri suatu hari dipekerjakan oleh sebuah kerajaan besar untuk menghibur setiap malam. Minggu-minggu pertama badut itu menjadi bintang dari acara utama hiburan malam kerajaan karena para petinggi kerajaan yang berkuasa menyukai lelucon-lelucon dan pertunjukan sulap yang dibuat oleh sang badut. Badut tersebut sebenarnya merasa tidak nyaman ditonton oleh banyak orang dan merasa bahwa lawakannya yang tadinya hanya untuk dirinya pribadi menjadi profesi yang lama kelamaan tidak lucu lagi bagi dirinya. Ia juga tahu bahwa tamu-tamu yang hadir tidak benar-benar menikmati pertunjukkannya, karena sekali-kali ia melihat mata para tamu yang menunggu reaksi sang raja, ratu, serta para menteri untuk mendapatkan ijin tertawa.

Kerajaan itu perlahan-lahan mulai meminta ini itu pada sang badut. “Bagaimana kalau lawakannya dikurangi? Tambahkan lagi acara sulapnya!” Dan sang Badut mulai lelah karena kerajaan tersebut mulai memerintahkan apa yang harus ia bawa pada setiap pertunjukkan. “Mentertawakan kerajaan ini melanggar hukum pemerintahan!” merupakan peraturan terakhir yang terngiang-ngiang di kupingnya.

“Ini bukan tujuan saya melawak...”, bisik sang badut pada dirinya sendiri.

Suatu malam sang badut akhirnya merasa muak dan memutuskan untuk tidak mengikuti lagi aturan-aturan yang ditetapkan oleh kerajaan tersebut. Ia membuat lelucon tentang mahkota raja yang terlalu besar dan hanya bisa menuruti semua keinginan sang ratu, Ia mentertawakan ratu yang semakin gendut dari hari ke hari karena memakan seluruh kekayaan kerajaan namun tetap mengatakan betapa cantiknya dirinya di depan kaca, ia juga mencemooh para menteri yang terlalu kaku dengan segala peraturan yang mereka tulis di kitab kerajaan dan membuat rakyatnya semakin menderita dari hari ke hari.

Para tamu terdiam ngeri melihat sang badut terus membuat lelucon-lelucon tentang kerajaan dan isinya. Jauh di dalam hati sebenarnya mereka ingin ikut tertawa, tetapi rasa takut harus menghadapi hukuman mati membuat mereka hanya mampu menampakkan wajah marah dan khawatir terhadap keselamatan sang badut.

Tidak butuh waktu yang lama sampai wajah sang ratu memerah dan berteriak, “pancung kepala pengkhianat ini!” kepada para tentaranya.

Sang badut diseret keluar ruangan. Tanpa pengadilan yang adil ia mendapatkan hukuman pancung...

Namun apa yang terjadi? Tubuh tanpa kepala sang badut tetap bangun dan menggendong kepalanya dengan gagah. Ia berjalan dengan pasti menuju ruangan pesta kerajaan meninggalkan para prajurit yang sudah terkencing-kencing di celana melihat keanehan peristiwa tersebut.

Sang badut naik ke atas panggung dan dengan darah terus menetes dari potongan lehernya, ia melawak, melawak, melawak, mencemooh, mencemooh, dan terus mencemooh!

Tidak ada yang mampu melakukan apa pun terhadap sang badut. Para tamu, raja, ratu dan para menteri hanya mampu terbelalak ngeri. Beberapa yang masih mampu bergerak berlari pergi sambil berteriak-teriak dan beberapa yang terlalu takut hanya mampu mengeluarkan seluruh isi perutnya di makan malam mereka.

Panggung itu kini basah. Penuh dengan darah sang badut. Ruangan tersebut kini kosong. Penuh dengan tawa mengerikan dan lelucon sang badut yang menggema di seluruh ruangan.

Sang badut tetap melawak, mencemooh, dan tertawa. Ia bahagia. Kini ia bisa melawak lagi untuk dirinya sendiri.

Tidak ada komentar: