Halaman

Rabu, 11 November 2009

pohon karet

Mungkin gue akan terlihat seperti pohon karet sekarang kalau gue ngga ketemu dengan Lushka. Udah sih, cuma mungkin sekarang ngga akan sebegitu menyedihkannya bentuknya kayak pohon karet tua yang udah diperas habis karetnya selama bertahun-tahun. Disayat, dipanen, mengering lagi lukanya, terus disayat lagi, dipanen lagi, dikeringkan lagi lukanya, dan begitu seterusnya..terbayang mungkin kalau gue ngga menahan diri, orang-orang bisa memandang gue seperti cara gue memandang pohon karet ini. Iba.

Kalau aja panen karet yang keluar dari tubuh gue bisa diperjual belikan kayak pohon itu. Dikumpulkan ke dalam botol-botol plastik aqua dan disumbangkan ke Palang merah. Padahal orang-orang banyak yang sibuk mengumpulkan karetnya ke dalam kantong-kantong untuk tujuan mulia. Rasanya kayak cowok-cowok yang masturbasi setiap hari padahal sperma-sperma yang keluar dari mereka itu adalah calon-calon bayi yang bisa jadi seorang manusia.

Lihat tangan cacat gue....bangga kah gue? Ngga. Gue malu. Terkadang bahkan rasanya ingin memotong tangan sendiri atau mengamplas hingga putih semua. Go seek for help, girls. Ternyata masih ada jalan keluar lain...

1 komentar:

Sinyo mengatakan...

Jika engkau tidak menangis sampai meneteskan air mata,engkau tidak mengenal tawa.

Jika engkau tidak mengenal pahit getir kegagalan, engkau tidak mengenal hakikat keberhasilan.

Jika engkau tidak menderita, engkau tidak menghargai enaknya kehidupan.

Jika pikiranmu hampa dari keraguan, berarti ia juga hampa dari pemikiran.

Jika ketakutan tidak menguncangmu, engkau tidak mengenal keberanian.

Jika engkau tidak salah, engkau tidak menghargai indahnya pengalaman.

Jika engkau tidak merasakan pahitnya keraguan dan penderitaan, engkau tidak menghargai nikmatnya kenyamanan dan ketenangan.